INILAH.COM, Jakarta - Studi terbaru menunjukkan banyak mengkonsumsi pereda nyeri golongan paracetamol dan asetaminofen meningkatkan risiko terkena kanker darah.
Pada studi awal para peneliti di Amerika, diketahui bahwa bahwa penggunaan aspirin memang bisa menurunkan risiko kematian akibat kanker kolon, tetapi bisa meningkatkan risiko perdarahan perut. Namun belum jelas apakah perdarahan itu karena kanker darah atau hematologi.
"Sebelumnya hanya sedikit bukti yang menguatkan bahwa aspirin menurunkan risiko kanker hematologi (berkaitan dengan darah)," kata Emily White, peneliti di bidang kanker.
Peneliti mengatakan, pada kasus-kasus individual memang terdapat kaitan konsumsi obat penghilang nyeri dengan meningkatnya risiko kanker. Namun studi individual semacam itu tidak dianggap sebagai bukti ilmiah sebelum dilakukan studi pada populasi yang besar dalam jangka panjang.
"Studi yang kami lakukan ini sangat prospektif," kata White, meski ia belum bisa menyimpulkan obat analgesik menyebabkan kanker.
Dalam penelitiannya, White dan tim mengikuti lebih dari 65.000 pria dan wanita berusia lanjut di Negara Bagian Washington, Amerika Serikat. Para responden ditanya tentang kebiasaan mereka mengonsumsi obat pereda nyeri dalam 10 tahun terakhir dan dipastikan mereka tidak menderita kanker, kecuali kanker kulit.
Enam tahun sejak awal studi, 577 orang atau kurang dari satu persen menderita kanker yang melibatkan sel darah, misalnya limfoma.
Lebih dari 9% orang yang menderita kanker itu menggunakan obat pereda nyeri asetaminofen dibandingkan dengan lima persen orang yang juga mengonsumsi, tapi tidak terkena kanker.
Kemudian, setelah mempertimbangkan faktor usia, penyakit artritis, dan riwayat keluarga yang menderita kanker darah, ternyata orang yang mengonsumsi obat pereda nyeri dalam jangka panjang memiliki risiko dua kali lebih besar menderita kanker.
"Orang yang berusia di atas 50 tahun memiliki risiko kanker darah dalam 10 tahun. Namun, jika Anda mengonsumsi asetaminofen paling tidak empat kali dalam seminggu selama minimal empat tahun, risiko terkena kanker tadi akan naik menjadi dua persen," kata White.
Dalam penelitian ini, tidak ditemukan kaitan antara obat pereda nyeri lain seperti ibuprofen dan aspirin.
Dr Raymond DuBois, ahli pencegahan kanker, mengatakan, asetaminofen atau paracetamol bekerja dengan cara berbeda dibandingkan dengan obat analgesik lainnya sehingga memiliki efek berbeda pula pada kanker.
"Namun, tetap mengejutkan bahwa penggunaan asetaminofen meningkatkan risiko kanker darah," katanya.
Sementara itu, produsen yang memproduksi Tylenol, obat pereda nyeri asetaminofen, tidak merespons hasil penelitian ini.
White juga mengatakan masih terlalu dini membuat rekomendasi terkait dengan hasil penelitian ini. Meski begitu, ia mengatakan tidak ada obat pereda nyeri yang bebas dari efek samping.
"Penggunaan jangka panjang obat yang dijual bebas memang menimbulkan dampak berbahaya," ungkap White.
Pada studi awal para peneliti di Amerika, diketahui bahwa bahwa penggunaan aspirin memang bisa menurunkan risiko kematian akibat kanker kolon, tetapi bisa meningkatkan risiko perdarahan perut. Namun belum jelas apakah perdarahan itu karena kanker darah atau hematologi.
"Sebelumnya hanya sedikit bukti yang menguatkan bahwa aspirin menurunkan risiko kanker hematologi (berkaitan dengan darah)," kata Emily White, peneliti di bidang kanker.
Peneliti mengatakan, pada kasus-kasus individual memang terdapat kaitan konsumsi obat penghilang nyeri dengan meningkatnya risiko kanker. Namun studi individual semacam itu tidak dianggap sebagai bukti ilmiah sebelum dilakukan studi pada populasi yang besar dalam jangka panjang.
"Studi yang kami lakukan ini sangat prospektif," kata White, meski ia belum bisa menyimpulkan obat analgesik menyebabkan kanker.
Dalam penelitiannya, White dan tim mengikuti lebih dari 65.000 pria dan wanita berusia lanjut di Negara Bagian Washington, Amerika Serikat. Para responden ditanya tentang kebiasaan mereka mengonsumsi obat pereda nyeri dalam 10 tahun terakhir dan dipastikan mereka tidak menderita kanker, kecuali kanker kulit.
Enam tahun sejak awal studi, 577 orang atau kurang dari satu persen menderita kanker yang melibatkan sel darah, misalnya limfoma.
Lebih dari 9% orang yang menderita kanker itu menggunakan obat pereda nyeri asetaminofen dibandingkan dengan lima persen orang yang juga mengonsumsi, tapi tidak terkena kanker.
Kemudian, setelah mempertimbangkan faktor usia, penyakit artritis, dan riwayat keluarga yang menderita kanker darah, ternyata orang yang mengonsumsi obat pereda nyeri dalam jangka panjang memiliki risiko dua kali lebih besar menderita kanker.
"Orang yang berusia di atas 50 tahun memiliki risiko kanker darah dalam 10 tahun. Namun, jika Anda mengonsumsi asetaminofen paling tidak empat kali dalam seminggu selama minimal empat tahun, risiko terkena kanker tadi akan naik menjadi dua persen," kata White.
Dalam penelitian ini, tidak ditemukan kaitan antara obat pereda nyeri lain seperti ibuprofen dan aspirin.
Dr Raymond DuBois, ahli pencegahan kanker, mengatakan, asetaminofen atau paracetamol bekerja dengan cara berbeda dibandingkan dengan obat analgesik lainnya sehingga memiliki efek berbeda pula pada kanker.
"Namun, tetap mengejutkan bahwa penggunaan asetaminofen meningkatkan risiko kanker darah," katanya.
Sementara itu, produsen yang memproduksi Tylenol, obat pereda nyeri asetaminofen, tidak merespons hasil penelitian ini.
White juga mengatakan masih terlalu dini membuat rekomendasi terkait dengan hasil penelitian ini. Meski begitu, ia mengatakan tidak ada obat pereda nyeri yang bebas dari efek samping.
"Penggunaan jangka panjang obat yang dijual bebas memang menimbulkan dampak berbahaya," ungkap White.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar